Kaidah Pertama: Khilaf ulama apakah perawi majhul dapat diterima atau tidak adalah untuk selain sahabat.
Adapun para sahabat maka jahalah mereka tidak berpengaruh, karena mereka semua telah mendapatkan pujian dari Allah dan rasulNya. (Ulumul Hadits hal. 142)
Kaidah Kedua: Para perawi yang majhul itu berderajat.
Imam Adz Dzahabi rahimahullah berkata, “Perawi yang majhul apabila ia tabi’in besar atau pertengahan maka haditsnya dapat dibawa dan diambil dengan husnudzan jika selamat dari menyelisihi pokok pokok (agama) dan selamat dari lafadz yang rancu.
Jika ia tabi’in kecil maka boleh meriwayatkannya dan derajatnya berbeda sesuai dengan perbedaan kepiawaian murid yang meriwayatkan darinya dan ketelitiannya dalam menyeleksi.
Dan jika ia tabi’uttabi’in dan setelahnya maka periwayatannya lebih lemah lagi terlebih jika ia bersendirian.” (Al Muqidzah hal 79).
Kaidah Ketiga: Perawi majhul jika haditsnya dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dalam shahihnya sebagai hujjah maka hilanglah kemajhulannya dan mendapatkan predikat tsiqah.
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata, “Adapun majhul hal maka tertolak untuk perawi yang dikeluarkan dalam ash shahih. Karena syarat Ash Shahih adalah perawinya harus dikenal keadilannya. Maka siapa yang mengklaim bahwa ia majhul berarti ia telah melawan penulis Ash Shahih yang menyatakan bahwa ia tidak majhul (ma’ruf).
Tidak ragu lagi dakwa orang yang mengenal lebih didahulukan dari dakwa orang yang tidak mengenalnya. Namun demikian kamu tidak akan menemukan perawi Ash Shahih yang bisa dianggap majhul secara mutlak.”
(Hadyus Sari hal. 384)
Kaidah Keempat: Jika ada seorang ulama menyatakan tentang perawi bahwa ia majhul, maka belum tentu perawi tersebut majhul. Karena bisa jadi ulama lain ada yang mengenalnya dan menganggapnya tsiqah.
Contohnya adalah Abdullah bin Al Walid bin Abdullah Al Muzani. Ia dianggap majhul oleh Ali bin Al Madini. Namun Yahya bin Ma’in mengenalnya dan menganggapnya tsiqah demikian pula imam An Nasai.